Jumat, 06 September 2013

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM (bag.3-end)

Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Islam

            Di tengah-tengah pengarus utamaan faham materialisme dan hedonisme yang terjadi saat ini, pemberdayaan masyarakat semata-mata ditujukan kepada pencapaian-pencapaian target yang bersifat materialis (kasat mata), seperti halnya kekayaan, penguasaan teknologi tinggi, sarana-prasarana umum yang berkualitas, dll. Sebagai agama yang memiliki karakteristik Wasathiyah (Seimbang), maka pemberdayaan tidak hanya terfokus pada target-target pencapaian secara meterial belaka, tetapi juga mencakup targetan-targetan immaterial (tak kasat mata) seperti halnya ketauhidan (Akidah), Ibadah, dan Akhlaq (kepribadian). Ketiga aspek immaterial tersebut yang utama dan pertama harus dibangun sejalan dengan pencapaian targetan-targetan yang sifatnya material.

            Sedikit berkaca pada sejarah awal turun dan berkembangnya islam di jazirah arab yang saat itu identik dengan masa kejahiliyahan. Islam hadir sebagai sebagai sebuah ajaran yang membawa pada perbaikan yang sifatya menyeluruh dan fundamental, hingga akhirnya terbentuk sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera yang dikenal sebagai tatanan masyarakat madani (civil society). Sebuah tatanan masyarakat yang mustahil bisa terwujud tanpa adanya landasan konsep yang jelas, menyeluruh, seimbang dengan penguatan pada tata aturan yang kokoh sekaligus fleksibel, mudah diamalkan, dan memanusiakan manusia.

            Pada era kejahiliyahan yang saat itu berkembang dan berurat berakar, pada hakikatnya kejahiliyahan tidak bisa disebut dengan kebodohan yang identik dengan keterbelakangan, kemiskinan, dan kebiadaban. Seperti halnya saat ini, kejahiliyahan masa lalu sebenarnya identik pada tidak “mengerti” dan tidak “pahamnya” manusia kepada kemurnian akidah, sehingga yang ada adalah sebagian besar (baca: pada umumnya) orang bertuhan pada hawa nafsunya yang semakin lama menuntunnya pada kehinaan. Setiap orang saat itu berlomba-lomba untuk mengejar harta, kedudukan, kepuasan birahinya, kecerdasan, dan kebudayaan yang pada akhirnya secara perlahan tapi pasti menyeret bangsa/masyarakat itu kepada kejumudan dan kehancuran.

            Keadaan bangsa arab jahiliyah saat itu digambarkan begitu gamblang dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an Nadwi. “Moral bangsa Arab pada masa jahiliyah sangatlah buruk. Mereka dijejali oleh khamr (minuman keras) dan perjudian.Mereka telah sampai pada tingkat kekejaman dan kebiadaban yang tinggi, seperti mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, penipuan yang sudah menjadi kebiasaan, dan perampokan terhadap kafilah-kafilah pedagang. Derajat wanita telah jatuh. Wanita dapat diwariskan kepada keturunan sebagaimana halnya barang perhiasan dan barang tunggangan. Di masyarakat jahiliyah bangsa Arab, terdapat makanan-makanan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, dan diharamkan bagi wanita. Laki-laki dapat beristri tanpa batasan jumlah.

            Dalam kitab yang sama, juga digambarkan terkait kondisi-kondisi bangsa-bangsa lain yang saat itu berkuasa, dengan kondisi yang tidak jauh buruknya dengan kondisi arab jahiliyah. Seperti halnya Imperium Rumawi Timur, dalam kitab tersebut digambarkan bahwa”Kekuasaan Rumawi Timur mengalami kekacauan yang semakin besar, pajak-pajak semakin berlipat ganda, sehingga penduduk negeri mengutamakan pemerintahan asing daripada pemerintahan mereka sendiri. Terjadilah bencana demi bencana, pemberontakan demi pemberontakan. Pada tahun 532 M, pada masa pemerintahan Justin I terjadi kekacauan yang menewaskan 30.000 jiwa di Konstantin yang merupakan ibukota negeri. Motivasi kehidupan satu-satunya disana adalah mencari harta dengan segala cara, kemudian membelanjakannya di dalam kemewahan. Mereka sangat memperhatikan hiburan, hingga pada batas kebiadaban.

            Dalam buku Civilization, Past, dan Present (Peradaban ; Dulu dan Sekarang) terdapat gambaran pertentangan dan kerusuhan yang menimpa masyarakat. Demikian pula tentang animo terhadap hiburan dan kenikmatan, bahkan sampai pada batas kekerasan dan kebiadaban. Kedua penulis buku tersebut menyatakan:

            “Terjadi pertentangan yang mengerikan dalam kehidupan sosial rakyat Bizantium. Kecenderungan keagamaan telah berakar kuat di dalam pemikiran mereka. Kerahiban telah merata di seluruh negeri, warga biasa telah mencampuri bahasan-bahasan keagamaan yang mendalam, sibuk dalam perdebatan-perdebatan di Bizantium.”

            “Sekalipun kehidupan wajar telah diupayakan berwatak seperti aliran kebatinan (mengutamakan kesederhanaan hidup sampai mengabaikan kebutuhan hidup manusia yang wajar, edt.)di satu pihak, akan tetapi kami melihat di pihak yang lain; mereka sangat berambisi terhadap segala bentuk hiburan dan permainan serta kegembiraan dan kemewahan. Di sana terdapat lapangan olah raga yang luas, dengan tempat duduk yang dapat menampung 80.000 orang. Di lapangan-lapangan tersebut, orang-orang menyaksikan perkelahian-perkelahian antara warga laki-laki dengan laki-laki pada waktu tertentu, atau antara laki-laki dengan binatang buas pada waktu yang lain.”

            "Mereka membagi kelompok menjadi dua warna: warna biru dan warna hijau. Mereka sangat menyukai keindahan, juga mencintai kekejaman dan kebiadaban. Permainan-permainan meraka bersimbah darah pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan hukuman-hukuman yang mereka jalankan sangat mengerikan, hingga mengelupas kulit manusia. Kehidupan para pemimpin dan pembesar di Imperium Bizantium adalah simbol gelak tawa dan kemewahan, berkomplot dalam segala hal dan memakai perhiasan yang melimpah, serta kejelekan-kejelekan dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan jahat.”

            Keadaan-keadaan yang telah dijelaskan diatas tidak jauh beda dan tengah dialami secara perlahan-lahan oleh segenap bangsa di muka bumi pada saat ini. Pertanyaannya adalah Bisakah permasalahan kejahiliyahan (Baca: Krisis multi dimensional) yang tengah dialami oleh sebagaian besar umat manusia di muka bumi ini diselesaikan dengan pendekatan konsep pemberdayaan masyarakat yang konvensional, yang memisahkan membatasi tujuan pemberdayaan hanya pada aspek material semata?

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.(Q.S.Al-Anfal:53)

            Sebagai sebuah ajaran yang bersifat Rabbaniyyah yang tidak akan lekang oleh zaman, dan senantiasa menjadi solusi atas segala bentuk tantangan zaman, Islam menawarkan konsep pembangunan masyarakat yang bermula pada pembangunan jiwa/karakter pribadi-pribadi manusia yang dalam teori pembangunan/pemberdayaan masyarakat dikenal sebagai pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (People Centered Development). Akan tetapi yang menjadi pembeda dari konsepsi pendekatan People Centered Development konvensional dengan ajaran islam adalah pada komposisi dan muatan-muatan pemahaman yang diinternalisasikan pada diri/individu manusia. Dalam ajaran islam, muatan-muatan yang diinternalisasikan tersebut meliputi aspek Akidah, Ibadah, dan Akhlak dalam komposisi yang seimbang.
            
Internalisasi muatan-muatan yang dilakukan secara berkesinambungan, seiring dengan proses tumbuh-kembang individu itulah yang memunculkan keyakinan/ Core Believe (Baca:keimanan) dalam diri masing-masing individu dan mendasari skema lahirnya kekuatan perubahan (The Power of Change). Core Believe ibarat ruh penggerak yang kuat bagi tiap-tiap individu untuk melakukan partisipasi nyata dengan kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawabnya masing-masing dalam melakukan perubahan sosial (transformasi sosial) yang menyeluruh dan mendasar.


            Analog dengan pembangunan rumah/gedung. Besar, dan tingginya sebuah bangunan haruslah proporsional dengan fondasi yang mendasarinya. Artinya, dalam mencapai tujuan pembangunan masyarakat yang lebih tinggi dan berkesinambungan, dengan tantangan zaman yang lebih kompleks, maka kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat juga harus ditingkatkan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa proses penguatan core believe haruslah berjalan terus menerus, seiring dengan pengkapasitasan (capacity building) spesifikasi keilmuan dan keterampilan pada masing-masing individu. Karena ketidak pedulian terhadap proses penguatan core believe, menjadikan bangunan kesejahteraan masyarakat rentan mengalami keruntuhan. Dan menyeret masyarakatnya  jauh dari kemuliaan. Wallahu’alam Bishowab.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Abul. 2001. As-Sirah An Nabawiyyah. Damaskus: Darul Qalam.

Payne, Malcolm.1997. Modern Social Work Theory. Second edition.London:Macmillan
            Press Ltd.

T.Walter Wallbank dan Alastair M. Taylor: Civilization, Past and Present,1954, hlm.          261-262.

Zulkarnain S., Abdi. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Islam Melalui Pemberdayaan        Ekonomi Ummat.Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.Volume 1,      Nomor 2, Juni 2005, hlm. 185.

Pengikut

Jumlah Pengunjung

free counters