Jumat, 01 November 2013

edisi TA'ARUF MADANI : PENGERTIAN KONSEP MASYARAKAT MADANI

Bismillahhirrohmaanirrohim :)

setelah sekian lama tidak mengupdate tulisan, alhamdulillah, admin punya bahasan menarik nih...
yuk, kita mengenal konsep masyarakat madani dan kesejahteraan umat dalam islam :)

first of all...
Apa sih sebenarnya MADANI itu?

Istilah madani berasal dari bahasa Arabyang memiliki akar kata sama dengan kata Madinah, suatu kota yang terletak di Arab Saudi. Kota ini sebelumnya bernama Yastrib dan merupakan kota tempat berkumpulnya kaum Muhajirin dan Anshar yang kemudian mereka bersama membentuk masyarakat rukun dan damai di bawah pimpinan Muhammad SAW.

Berdasarkan tinjauan etimologis, masyarakat madani mengandung arti masyarakat kota dan masyarakat beradab. Pemahaman lain dalam bahasa arab, kata ini berarti Kota.

--Mengapa dikatakan masyarakat kota?
Kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad dahulu merupakan sebuah City State ( masyarakat kota atau negara kota) sebagai model masyarakat beradab. Anwar Ibrahim, Menteri Malasyia juga pernah berpendapat bahwasanya masyarakat madani sebagai terjemahan civil society  merupakan perwujudan ruh islam dalam budaya bangsa, wacana antar budaya, dan negara.

Nah, masyarakat madani sendiri dapat tercapai apabila kita dapat meneladani pola kepemimpinan Rasulullah SAW sewaktu beliau memimpin masyarakat Madinah Munawaroh di masa silam. Hal tersebut sesuai dengan rencana Allah SWT yang disebutkan dalam QS Saba' ayat 15.



"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".


-to be continued-


referensi :
Buku ajar Pendidikan Agama Islam UGM

Kamis, 24 Oktober 2013

Jangan Salah kaprah, Kini Semangat Pengabdian Kian Renta


Universitas Gadjah Mada kembali menjadi perguruan tinggi terbaik di Indonesia versi Webometrics. Menurut pengumuman yang dirilis 2012, UGM berada di peringkat 9 dalam daftar 100 besar perguruan tinggi (PT) terbaik di Asia Tenggara dan peringkat 379 dunia. Begitu juga Lembaga 4 International College and University (4ICU) kembali melansir pemeringkatan universitas terbaik di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam pemeringkatan Juli 2013, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tetap mengukuhkan diri di peringkat pertama se-Tanah Air. Kedua Penilaian ini merupakan pemeringkatan berdasarkan popularitas website. Hal yang ingin dicapai, Pimpinan perguruan tinggi didorong untuk menerapkan manajeman situs yang profesional dengan memperhatikan mutu dan kuantitas publikasinya. Hal penting lainnya adalah para civitas akademika perguruan tinggi didorong untuk produktif dalam penelitian. Menanggapi hal itu Kepala Humas UGM mengatakan bahwa peringkat yang dicapai UGM tersebut sebagai salah satu parameter untuk mengukur capaian dari upaya yang telah dilakukan UGM selama ini, artinya penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi menggunakan laman UGM semakin membudaya.
Ditengah perasaan bangga karena mendapat predikat Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, kita mungkin melewatkan satu hal yang membuat kita tertegun. Penasehat Kebijakan Pendidikan Tinggi dari Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA), Tiiji Wake pernah mengatakan, bahwa kelebihan PT di Indonesia dibandingkan PT Jepang, yakni ada keharusan pengabdian pada masyarakat. Inilah sejatinya yang membuat rasa kebanggaan kita muncul sebagai akademisi kampus, bahwa mereka pendiri kampus dan bangsa ini menitipkan dharma yang sangat suci “PENGABDIAN” pada hari itu. Dan kini, masih patutkah kita berbangga hanya dengan penilaian dari aspek popularitas web semata?
Kita semua tahu dan sepakat bahwa setiap Perguruan Tinggi mempunyai sejarah Tridharma Perguruan Tinggi yang menjadi pembeda antara PT indonesia dengan PT negeri lain, dan nyaris tak terlihat dalam deretan “Kriteria Kampus Terbaik” tridharma ke tiga ini yang kita sebut “PENGABDIAN”.
Muara dari aktualisasi kegiatan ilmu, baik pendidikan maupun penelitian, adalah pengabdian pada masyarakat; pengabdian ini bukanlah beban tambahan yang harus dipilih, tapi justru menjadi basis pijakan. (Purwo santoso, 2011). Ironis memang, seharusnya pengabdian sebagai muara dari pendidikan dan penelitian, dimana dari hasil pendidikan dan penelitian itu lahir generator pemberdayaan yang mengaplikasikan ilmu temuannya untuk kepentingan masyarakat, bukan sebatas berkutat pada publikasi ilmiah, namun juga dampak positif yang diberikan oleh akademisi terhadap masyarakat, baik mahasiswa, maupun dosen kapanpun dan dimanapun. Bahkan ada semboyan yang meyakinkan kita bahwa pentingnya pengabdian menjadi ruh Perguruan Tinggi, “Riset itu boleh gagal tetapi pengabdian harus berhasil, riset itu boleh berhenti tetapi pengabdian harus terus berlanjut”.
Semangat mengembangkan program pemberdayaan masyarakat ini sudah dibangun UGM sejak masa KKN. UGM termasuk salh satu kampus pelopor program KKN nasional. Sejak tahun 1971 sampai sekarang, UGM mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk turun langsung ke masyarakat, membangun masyarakat hingga sekarang KKN menjadi entitas nasional yang menakjubkan menurut sebagian besar orang-orang luar negeri, dan ini patut kita syukuri dan tingkatkan. Dengan demikian misi pengabdian pada masyarakat, melambangkan bahwa Perguruan tinggi merupakan bagian integral masyarakat (Yuara Sukra, 1986).
Sebagai Universitas yang mengaku menjunjung tinggi nilai pengabdian, tampaknya agak berseberangan dengan sikap UGM yang mendeskreditkan dirinya sebagai World Class Riset University. Sehingga dampaknya UGM terkesan fokus akan riset-riset tanpa pernah berinteraksi dengan masyarakat. Mahasiswanya pun sibuk mengurus kepentingan karir masa depan dan memperkaya dirinya sendiri tanpa berbalas budi “uang rakyat” berupa subsidi pendidikan yang kita nikmati ini.
Menurut salah satu Dosen penggerak pengabdian masyarakat di UGM, “Pendidikan jangan hanya jadi status sosial. Pengabdian itu adalah pengamalan, tetapi beramal yang sistemik bukan asal-asalan”, ujar beliau saat pelepasan masa Purna baktinya.
Jika benar UGM niat patenkan KKN jadi ikon Kampus secara nasional. Maka harapan kita bersama adalah, civitas kampus melakukan perombakan besar pada sistem pendidikan dan risetnya bahwa semua itu nantikan akan bermuara pada pengabdian. Sehingga tidak ada lagi dosen ataupun mahasiswa yang ogah-ogahan diminta memberikan penyuluhan kepada masyarakat pedesaan yang membutuhkan.

Kalau kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih dahulu mereka yang berjuta-juta di desa desa itu. Selama mereka belum hidup sempurna belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai anak Indonesia.
(Dr. Soetomo 1908)


Dibalik semangat pengabdian yang kian renta dimakan usia, akan muncul generator baru pemberdayaan masyarakat yang siap melaju, menembus batas ruang dan waktu.

Sumber :
Dicuplik dari Seminar Pemberdayaan Masyarakat (purna bakti Ir. Gatot Murdjito MS. 2013)

-lareangon


Kamis, 03 Oktober 2013

PROFIL GERISMA

#Anjuran berbuat kebaikan.Bertaqwalah kepada Alloh di manapun engkau berada, iringilah kejelekan dengan kebaikan yang akan menghapusnya dan bergaulah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.”, begitulah sepenggal hadis yang diriwayatkan Abu Dzar r.a. mengisyaratkan pada kita (umat islam) untuk berbuat kebaikan pada sesama manusia, termasuk tetangga kita. Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah memuliakan tetangganya. (H.R. Bukhari-Muslim).
#Rumahku – Kontrakanku. Sejatinya rumah atau kontrakan mahasiswa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Rumah yang kita tinggali ini punya peluang besar untuk menjadi sarana yang ampuh  dalam mensyiarkan nilai nilai islam, namun kebanyakan para penghuni kontrakan ini (mahasiswa) jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar atau tetangganya. kontrakan hanya sebagai tempat singgah dan beristirahat (kaya’ shelter bus).
#Sayangi Tetangga. Masyarakat mungkin maklum dengan keterbatasanmu bersosialisasi di lingkungan sekitar  tempat tinggalmu, kamu hanya anak kos biasa dengan segudang aktivitas kampus.. tetapi sampai kapan.. sampai kapan kamu dan aku hidup dalam serba “kemakluman”?
#Seharusnya, sholeh-mensholehkan. Sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khotob r.a. bahwa “suatu masyarakat kehilangan keseimbangannya manakala ada gejala berikut ini; ada orang-orang shaleh yang lemah dan tidak berdaya serta ada orang-orang jahat yang kuat dan perkasa”. Jangan sampai keberadaan kita tidak memberikan manfaat bagi sesama (dalam bahasa jawa; muspro)
“…Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,.” (An-Nisa:36)
#GERISMA namanya: “Dengan semangat Qur’an kita bangun kontrakan”. Pada mulanya gerakan ini hanya sebatas jasa penyedia informasi kontrakan- khusus MABA menjelang Penerimaan Mahasiswa Baru UGM, karena dirasa penting (menyangkut kebutuhan MABA) hingga pada masanya tiba, timbulah gagasan membuat komunitas kontrakan untuk menjaga asas keberlanjutan. Semangat Gerakan Rumah Indah-Sehat Mahasiswa (GERISMA) adalah komitmen kita bersama, teman-teman komunitas aktif mendata dan mengunjungi kontrakan “door to door “ dalam rangka sensus Gerisma 2013. Kegiatan ini selain menjadi sarana silaturahim antar kontrakan juga mengajak sahabat lain untuk berpartisipasi di dalamnya. Al hasil dari 18 kontrakan yang terdata, tiap kontrakan punya agenda kontrakan sesuai dengan ciri khas masing-masing; mulai dari masak-masak, safari kontrakan , ngajar TPA sampai kajian kitab,  yang paling istimewa 80% memiliki program Qur’an harian yang terstruktur. “Tiada hari tanpa Qur’an”. Melalui Qur’an, masyarakat (termasuk penghuni kontrakan)  dibentuk dalam budaya keislaman yang akrab dengan Qur’an. Harapan kita, kontrakan Qur’ani inilah yang akan menularkan kebaikan dengan aktif terlibat dalam kegiatan kampung.
#Sehat jasmani, sehat ruhani, sehat sosial. Alhamdulillah sejauh ini program bersama komunitas kontrakan yang baru berjalan: posko kontrakan peduli, thifan pokhan (olahraga). Saudara-saudara semuga ini bisa menjadi ikhtiar kita bersama, yakni menciptakan kultur islami di lingkungan rumah/ tempat tinggal, menerapkan unsur keshalehan sosial di lingkungan sekitar  kontrakan/ tempat tinggal, mengembangkan kapasitas sosial (social capacities) sehingga mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Bayangkan apa jadinya jika suatu saat di wilayah kampus kita dipenuhi kontrakan mahasiswa yang soleh/solehah ya?. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, …”(Al-A’raf : 96).
Berbuat baik dan memuliakan tetangga adalah pilar  terciptanya kehidupan sosial yang harmonis bahkan kepada tetangga non-islam sekalipun. Apabila seluruh kaum muslimin menerapkan perintah Allah Taala dan Nabi SAW ini, sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi kerusuhan dan tawuran di negara mayoritas muslim ini. Insyaallah



visit us :D
Gerisma on facebook : gerisma

Rabu, 02 Oktober 2013

LANDASAN AL QURAN DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI

Masyarakat Madani atau masyarakat beradab adalah   suatu kelompok individu dalam satu wilayah tertentu yang mendapatkan keadilan dan keseimbangan dalam hal kesejahteraan kehidupan sesuai dengan fitrah manusia sebagai hamba Allah SWT yang mempunyai kewajiban dan amanah dari Allah SWT untuk menegakan keadilan dengan hukum yang berlaku di negara nya. Selain itu adanya perbedaan suku, ras, keturunan, etnis dll, tidak menjadikan perbedaan menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat  madani pada hakikatnya adalah reformasi terhadap segala praktik yg merendahkan nilai-nilai   manusia.Masyarakat madani yg dideklarasikan oleh nabi adalah merupakan reformasi terhadap masyarakat  Jahilliyah.seperti yg diketahui bahwa masyarakat jahilliyah adaalah masyarakat yg mempraktikkan ketidakadilan dan pengingkaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.Praktik penindasan dikakukan secara sistematis terhadap orang miskin dan merupakan suatu hal yg biasa dilakukan.

Merujuk pada prinsip-prinsip masyarakat Madani atau masyarakat beradab dan sejahtera,maka perlu adanya unsur-unsur sikap Keadilan,Supremasi hukum,Persaamaan(Egalitarianisme),Pluralisme(Kemajemukan),dan Pengawasan sosial.

Berikut adalah beberapa riwayat  yang mendukung prinsip-prinsip masyarakat madani yang terkandung  dalam AL-Qur’an dan Al- hadist,

1.Keadilan
Dalam islam sudah diterangkan dalam al-Qur’an dan Al- hadistnya tentang aspek kehidupan dalam bermasyarakat,seperti pada QS.AL-Takaatsur ayat 1-8 dan QS.AL-Humazah ayat 1-9 yang menjelaskan tentang para pengumpat dan pencela yg mengumpulkan harta benda dan  menghitung hitungnya ,ia mengira bahwa hartanya akan mengekalkannya.

2.Supremasi Hukum
QS.An-nisaa ayat 58 dan QS.AL-Maai’dah ayat 8 yang menerangkan tentang hukum islam,pentingnya berlaku adil terhadap siapapun tanpa pandang bulu,bahkan terhadaap orang yang membenci kita sekalipun,kit harus berlaku adil,karena sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa-apa yang kita kerjakan.


3.Egalitarianisme(persamaan)
al-Qur’an dan Al- hadistnya QS.AL-Hujuraat ayat 13 yang menerangkan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dari jenisnya laki-laki dan perempuan,bersuku-suku,berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal satu sama lain.
Tentunya perbedaan itu harusnya  menjadi warna tersendiri ,sehingga bisa terjadi  suatu Egalitarianisme bukan sebaliknya.

4.Pengawasan sosial
Keterbukaan itu sebagai konsekuensi logis dari pandangan positif  dan optimis terhadap manusia,bahwa manusia pada dasarnya adalah baik,oleh karena manusia secara fitrah baik dan suci,maka kejahatan yang dilakukan bukan karena sifat dalam dirinya,akan tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor luar yang mempengaruhinya.Seperti kandungan pada QS.AL-A’raaf ayat 172,QS.Ar-ruum ayat 30,QS.Al’ashr ayat 1-3.

                     


sumber referensi :
Al Quranul Kariim
www.ut.ac.id

Selasa, 01 Oktober 2013

KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI DALAM AL QURAN


وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ  [التوبة: 71]
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar,melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Masyarakat modern mendambakan sebuah sistem kehidupan dimana elemen-eleman dalam masyarakat mempunyai peranan yang dominan dalam menata kehidupan yang mereka inginkan. Masyarakat yang demikian kerap disebut masyarakat sipil (Civil Society), namun beberapa cendikiawan Muslim di Asia Tenggara lebih suka menggunakan istilah masyarakat madani sebagai gantinya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia masyarakat madani diartikan sebagai,  “Masyarakat sipil yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang berpereradaban, yang didasarkan oleh iman dan ilmu.”  
Masyarakat madani dalam perspektif al-Qur’an
Terkait persoalan masyarakat madani ini, penulis mengemukakan ayat 71 surah at-Taubah sebagai sebuah pandangan dasar tentang karakteristik masyarakat madani yang ideal.
Ayat di atas menjelaskan sifat-sifat yang seharusnya disandang oleh orang-orang Mukmin dalam kapasitas mereka sebagai sebuah masyarakat. Dari enam sifat disebut dalam ayat tersebut, sifat pertama menggunakan ungkapan khabari berupa jumlah ismiyyah yang mempunyai makna tetap. Lima sifat berikutnya menggunakan ugkapan khabari juga tapi dalam bentuk jumlah fi’liyyah (kata kerja), yaitu ya’muruna (memerintahkan), Yanhauna (melarang), yuqimuna (menegakkan), yu’tuuna(menunaikan), yuthi’uuna (taat). Penggunaan lima kata kerja ini mempunyai arti bahwa semua pekerjaan itu terus dilaksanakan dari waktu ke waktu sepanjang hayat manusia, sebagai proses yang tiada henti.
Dalam Islam, hidup adalah ibadah. Kehidupan di dunia harus diisi dengan kegiatan yang diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Dalam Islam kehidupan dunia adalah ladang amal dan bekerja, bukan alam pembalasan. Sebaliknya, kehidupan akhirat adalah alam pembalasan bukan ladang untuk bekerja.  
Penjabaran enam sifat masyarakat madani Qur’ani adalah seperti berikut:
Pertama: Iman yang merupakan landasaan ideal dan spiritual dari sebuah masyarakat. Setiap mukmin harus menjadi auliya bagi mukmin lainnya. Maknanya adalah mereka saling mengasihi, menyayangi, tolong menolong dalam kebaikan, karena adanya kedekatan di antara mereka atas dasar kesamaan dalam beberapa hal yang sangat prinsip dalam kehidupan, yaitu akidah (tauhid), pedoman hidup (al-Qur’an dan sunnah), dan tujuan hidup (meraih keridhaan Allah, bahagia di dunia dan akhirat)
Persamaan dalam tiga unsur tersebut diharapkan akan memicu sinergi antara satu dengan lainnya. Kasih sayang (rahmah), empati (Ihtimam bilghair), tidak egoistis (ananiyah), akan menjadikan hidupan ini semakin berarti dan menjadi indah. Inilah sistim kehidupan yang dikehendaki Allah dan menjadi dambaan semua masyarakat dunia. Akan halnya hubungan Muslim dengan masyarakat non-Muslim, pola kehidupan yang diinginkan adalah rasa saling menghargai, menghormati, atas dasar prinsip kemanusiaan.
Kedua dan ketiga: Hak, Kewajiban dan Kesadaran hukum. Sesama mukmin handaklah terus melakukan amar ma’ruf, yaitu memerintahkan yang lain untuk berbuat kebaikan. Maksud kebaikan di sini adalah segala yang dipandang baik oleh agama dan akal. Mereka juga saling mencegah berbuat kemungkaran atau suatu perilaku yang dipandang jelek baik menurut agama maupun akal.
Segala kewajiban dan anjuran agama, atau sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat, baik primer maupun sekunder, seperti sektor pangan, pendidikan, kesehatan dan lainnya harus menjadi perhatian bersama, karena mengandung hal-hal yang positif bagi individu dan masyarakat. Hal-hal yang ma’ruf sudah tentu indah karena berisi nilai-nilai kehidupan. Sementara itu setiap larangan agama dipastikan mengandung banyak hal negatif. Maka semua elemen masyarakat harus saling bahu membahu untuk menghindarai hal-hal yang negatif tersebut.
Saat ini, bentuk-bentuk kemungkaran telah berkembang bahkan berubah sesuai budaya dan perilaku manusia, walaupun substansinya masih sama dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam bidang ekonomi, memakan harta yang haram dan batil, mempunyai ragam dan bentuknya. Semuanya merugikan orang lain. Contoh yang marak adalah korupsi, kolusi, pungli, manipulasi, suap menyuap, sogok-menyogok, kejahatan kerah putih (white colour crime), pencucian uang haram, penggelembungan anggaran (mark up), belanja fiktif dan lain sebagainya.
Begitu pula dalam bidang politik, seperti kejahatan politik uang, jual beli suara dalam pemilu, dan lain-lain. Dalam bidang lingkungan terjadi pencemaran, pembabatan hutan, dan perusakan sumber daya alam lainnya. Semua kemungkaran tersebut harus diatasi dengan cara-cara yang bijak dan efektif. Semua kalangan, baik birokrat maupun masyarakat sipil, termasuk di dalamnya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pers, organisasi massa, perguruan tinggi, dan lainnya harus saling bahu membahu dalam penanganan kemungkaran ini, dengan mengawasi, menegur, baik lisan maupun tulisan. Bisa juga melalui kurikulum di Perguruan Tinggi, seperti kurikulum tentang bahaya korupsi.
Penanganan kemungkaran ini dapat dilakukan mulai dengan tindakan halus hingga tindakan tegas dari Ulil Amri atau pemerintah, melalui hukum yang berlaku secara adil. Amar ma’ruf nahi munkarmenjadi elemen yang sangat penting dalam kehidupan. Cukuplah menjadi nilai yang tinggi bahwaamar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian yang integral bagi umat yang ingin menjadi bagian dari umat terbaik. Bagi masyarakat yang ingin bahagia, beruntung dan sejahtera (falah), harus ada kelompok yang mempunyai tugas mengawal kedua prinsip ini. Tersingkirnya prinsip amar ma`ruf nahi munkar ini akan menyebabkan masyarakat bisa porak poranda.
Keempat :   Spiritualitas. Sebagai realisasi dari keimanan, yaitu selalu mengerjakan shalat lima waktu, dengan memerhatikan syarat, rukun dan etikanya. Dilakukan secara terus menerus sepanjang hayat dan dikerjakan dengan baik dan khusyu’, agar hikmah shalat berubah menjadi kepribadian seseorang. Shalat adalah hubungan antara hamba dengan Allah. Sebagai refleksi pengabdian manusia kepada Tuhannya. Semangat spiritualitas ini harus terus digelorakan dan didengungkan, agar manusia tidak terpedaya oleh setan yang selalu mengincar manusia untuk digelincirkan dari jalan lurus. 
Kelima: Kepedulian sosial melalui zakat. Zakat adalah bentuk rasa kesetiakawanan sosial, empati, berbagi dengan orang lain. Dengan zakat, manusia tidak lagi kikir, egois, materialistis. Dengan zakat, kesenjangan ekonomi tidak begitu melebar. Jika zakat adalah sebuah kebijakan agama yang demikian mulia, maka cara menunaikannya juga harus baik, yaitu sesuai dengan ketentuan, diberikan kepada yang berhak, dan pemberi zakat mendatangi sendiri para mustahiknya, seakan dia yang membutuhkan kepada mereka.
Keenam : Rujukan Agama. Mengatasi berbagai persoalan kehidupan diperlukan rujukan. Dalam islam rujukan yang betul-betul kredibel adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam semua lini kehidupan, baik dalam soal akidah, mu’amalah, ibadah maupun akhlak. Taat kepada Allah berarti taat kepada ajaran yang ada dalam al-Qur’an. Sementara taat kepada rasul adalah taat kepada apa yang ada dalam hadis. Allah yang bersifat rahman dan rahim. Nabi Muhammad yang ditabalkan sebagai Rasul pembawa rahmat bagi alam semesta yang juga santun dan penyayang, akan mengarahkan manusia kepada pekerti yang menguntungkan bagi kehidupan mereka. Dengan adanya rujukan kehidupan berupa al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka jalan kehidupan umat Islam menjadi jelas. Loyalitas mereka juga jelas.
Pada akhir ayat diatas, Allah memberikan jaminan bahwa masyarakat muslim yang mampu melaksanakan kelima perilaku tersebut akan mendapatkan rahmah atau  kasih sayang dari Allah SWT. Hal itu tidaklah berat bagi Allah karena Allah adalah Zat yang Mahaperkasa dan semua kebijakan-Nya pasti mengena dan menuai hasil, karena Allah adalah Zat Yang Mahabijaksana.
Apa yang disajikan diatas adalah tawaran al-Qur’an sebagai cara untuk membentuk masyarakat yang penuh dengan nilai dan norma. Pada masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidin, semua komponen masyarakat ikut mengawasi jalannya pemerintahan. Pada saat sahabat Umar dilantik menjadi Khalifah, seorang rakyatnya bersumpah bahwa jika Umar menyeleweng, maka dia akan meluruskannya dengan pedang.
Al-Qur’an telah memberikan predikat umat Islam pada masa Nabi dan para sahabatnya sebagai umat yang terbaik yang terlahir di muka bumi. Inilah prestasi puncak umat manusia. Nabi sendiri mengatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi masanya kemudian dua genarsi setelahnya.
Pada saat masyarakat dunia telah terpecah menjadi negara bangsa, dan kekuasaan absolut tidak lagi berada di tangan seseorang, tapi sudah terbagi menjadi tiga kekuatan yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, maka secara teori masyarakat madani bisa tercipta manakala semua pihak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Agar semua elemen tiga kekuasaan tersebut berjalan dengan efektif maka yang paling dibutuhkan adalah komitmen seluruh masyarakat untuk saling bahu membahu melaksanakan semua program-program mereka atas dasar nilai-nilai yang ada pada masing-masing penduduk.
Tidak masalah jika penduduk satu bangsa berasal dari beragam agama. Namun sebaliknya jika komitmen untuk membangun bangsa sudah memudar, maka yang difikirkan adalah kepentingan pribadi maupun golongan. Mereka saling bantu membantu dalam pelanggaran, seperti kerjasama antara eksekutif,  yudikatif dan legislatif, maka bangsa ini tinggal menunggu kehancurannya saja.    

oleh :
Dr Ahsin Sakho Muhammad
Pimpinan Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an Arjawinangun Cirebon

Jumat, 06 September 2013

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM (bag.3-end)

Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Islam

            Di tengah-tengah pengarus utamaan faham materialisme dan hedonisme yang terjadi saat ini, pemberdayaan masyarakat semata-mata ditujukan kepada pencapaian-pencapaian target yang bersifat materialis (kasat mata), seperti halnya kekayaan, penguasaan teknologi tinggi, sarana-prasarana umum yang berkualitas, dll. Sebagai agama yang memiliki karakteristik Wasathiyah (Seimbang), maka pemberdayaan tidak hanya terfokus pada target-target pencapaian secara meterial belaka, tetapi juga mencakup targetan-targetan immaterial (tak kasat mata) seperti halnya ketauhidan (Akidah), Ibadah, dan Akhlaq (kepribadian). Ketiga aspek immaterial tersebut yang utama dan pertama harus dibangun sejalan dengan pencapaian targetan-targetan yang sifatnya material.

            Sedikit berkaca pada sejarah awal turun dan berkembangnya islam di jazirah arab yang saat itu identik dengan masa kejahiliyahan. Islam hadir sebagai sebagai sebuah ajaran yang membawa pada perbaikan yang sifatya menyeluruh dan fundamental, hingga akhirnya terbentuk sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera yang dikenal sebagai tatanan masyarakat madani (civil society). Sebuah tatanan masyarakat yang mustahil bisa terwujud tanpa adanya landasan konsep yang jelas, menyeluruh, seimbang dengan penguatan pada tata aturan yang kokoh sekaligus fleksibel, mudah diamalkan, dan memanusiakan manusia.

            Pada era kejahiliyahan yang saat itu berkembang dan berurat berakar, pada hakikatnya kejahiliyahan tidak bisa disebut dengan kebodohan yang identik dengan keterbelakangan, kemiskinan, dan kebiadaban. Seperti halnya saat ini, kejahiliyahan masa lalu sebenarnya identik pada tidak “mengerti” dan tidak “pahamnya” manusia kepada kemurnian akidah, sehingga yang ada adalah sebagian besar (baca: pada umumnya) orang bertuhan pada hawa nafsunya yang semakin lama menuntunnya pada kehinaan. Setiap orang saat itu berlomba-lomba untuk mengejar harta, kedudukan, kepuasan birahinya, kecerdasan, dan kebudayaan yang pada akhirnya secara perlahan tapi pasti menyeret bangsa/masyarakat itu kepada kejumudan dan kehancuran.

            Keadaan bangsa arab jahiliyah saat itu digambarkan begitu gamblang dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an Nadwi. “Moral bangsa Arab pada masa jahiliyah sangatlah buruk. Mereka dijejali oleh khamr (minuman keras) dan perjudian.Mereka telah sampai pada tingkat kekejaman dan kebiadaban yang tinggi, seperti mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, penipuan yang sudah menjadi kebiasaan, dan perampokan terhadap kafilah-kafilah pedagang. Derajat wanita telah jatuh. Wanita dapat diwariskan kepada keturunan sebagaimana halnya barang perhiasan dan barang tunggangan. Di masyarakat jahiliyah bangsa Arab, terdapat makanan-makanan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, dan diharamkan bagi wanita. Laki-laki dapat beristri tanpa batasan jumlah.

            Dalam kitab yang sama, juga digambarkan terkait kondisi-kondisi bangsa-bangsa lain yang saat itu berkuasa, dengan kondisi yang tidak jauh buruknya dengan kondisi arab jahiliyah. Seperti halnya Imperium Rumawi Timur, dalam kitab tersebut digambarkan bahwa”Kekuasaan Rumawi Timur mengalami kekacauan yang semakin besar, pajak-pajak semakin berlipat ganda, sehingga penduduk negeri mengutamakan pemerintahan asing daripada pemerintahan mereka sendiri. Terjadilah bencana demi bencana, pemberontakan demi pemberontakan. Pada tahun 532 M, pada masa pemerintahan Justin I terjadi kekacauan yang menewaskan 30.000 jiwa di Konstantin yang merupakan ibukota negeri. Motivasi kehidupan satu-satunya disana adalah mencari harta dengan segala cara, kemudian membelanjakannya di dalam kemewahan. Mereka sangat memperhatikan hiburan, hingga pada batas kebiadaban.

            Dalam buku Civilization, Past, dan Present (Peradaban ; Dulu dan Sekarang) terdapat gambaran pertentangan dan kerusuhan yang menimpa masyarakat. Demikian pula tentang animo terhadap hiburan dan kenikmatan, bahkan sampai pada batas kekerasan dan kebiadaban. Kedua penulis buku tersebut menyatakan:

            “Terjadi pertentangan yang mengerikan dalam kehidupan sosial rakyat Bizantium. Kecenderungan keagamaan telah berakar kuat di dalam pemikiran mereka. Kerahiban telah merata di seluruh negeri, warga biasa telah mencampuri bahasan-bahasan keagamaan yang mendalam, sibuk dalam perdebatan-perdebatan di Bizantium.”

            “Sekalipun kehidupan wajar telah diupayakan berwatak seperti aliran kebatinan (mengutamakan kesederhanaan hidup sampai mengabaikan kebutuhan hidup manusia yang wajar, edt.)di satu pihak, akan tetapi kami melihat di pihak yang lain; mereka sangat berambisi terhadap segala bentuk hiburan dan permainan serta kegembiraan dan kemewahan. Di sana terdapat lapangan olah raga yang luas, dengan tempat duduk yang dapat menampung 80.000 orang. Di lapangan-lapangan tersebut, orang-orang menyaksikan perkelahian-perkelahian antara warga laki-laki dengan laki-laki pada waktu tertentu, atau antara laki-laki dengan binatang buas pada waktu yang lain.”

            "Mereka membagi kelompok menjadi dua warna: warna biru dan warna hijau. Mereka sangat menyukai keindahan, juga mencintai kekejaman dan kebiadaban. Permainan-permainan meraka bersimbah darah pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan hukuman-hukuman yang mereka jalankan sangat mengerikan, hingga mengelupas kulit manusia. Kehidupan para pemimpin dan pembesar di Imperium Bizantium adalah simbol gelak tawa dan kemewahan, berkomplot dalam segala hal dan memakai perhiasan yang melimpah, serta kejelekan-kejelekan dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan jahat.”

            Keadaan-keadaan yang telah dijelaskan diatas tidak jauh beda dan tengah dialami secara perlahan-lahan oleh segenap bangsa di muka bumi pada saat ini. Pertanyaannya adalah Bisakah permasalahan kejahiliyahan (Baca: Krisis multi dimensional) yang tengah dialami oleh sebagaian besar umat manusia di muka bumi ini diselesaikan dengan pendekatan konsep pemberdayaan masyarakat yang konvensional, yang memisahkan membatasi tujuan pemberdayaan hanya pada aspek material semata?

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”.(Q.S.Al-Anfal:53)

            Sebagai sebuah ajaran yang bersifat Rabbaniyyah yang tidak akan lekang oleh zaman, dan senantiasa menjadi solusi atas segala bentuk tantangan zaman, Islam menawarkan konsep pembangunan masyarakat yang bermula pada pembangunan jiwa/karakter pribadi-pribadi manusia yang dalam teori pembangunan/pemberdayaan masyarakat dikenal sebagai pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (People Centered Development). Akan tetapi yang menjadi pembeda dari konsepsi pendekatan People Centered Development konvensional dengan ajaran islam adalah pada komposisi dan muatan-muatan pemahaman yang diinternalisasikan pada diri/individu manusia. Dalam ajaran islam, muatan-muatan yang diinternalisasikan tersebut meliputi aspek Akidah, Ibadah, dan Akhlak dalam komposisi yang seimbang.
            
Internalisasi muatan-muatan yang dilakukan secara berkesinambungan, seiring dengan proses tumbuh-kembang individu itulah yang memunculkan keyakinan/ Core Believe (Baca:keimanan) dalam diri masing-masing individu dan mendasari skema lahirnya kekuatan perubahan (The Power of Change). Core Believe ibarat ruh penggerak yang kuat bagi tiap-tiap individu untuk melakukan partisipasi nyata dengan kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawabnya masing-masing dalam melakukan perubahan sosial (transformasi sosial) yang menyeluruh dan mendasar.


            Analog dengan pembangunan rumah/gedung. Besar, dan tingginya sebuah bangunan haruslah proporsional dengan fondasi yang mendasarinya. Artinya, dalam mencapai tujuan pembangunan masyarakat yang lebih tinggi dan berkesinambungan, dengan tantangan zaman yang lebih kompleks, maka kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat juga harus ditingkatkan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa proses penguatan core believe haruslah berjalan terus menerus, seiring dengan pengkapasitasan (capacity building) spesifikasi keilmuan dan keterampilan pada masing-masing individu. Karena ketidak pedulian terhadap proses penguatan core believe, menjadikan bangunan kesejahteraan masyarakat rentan mengalami keruntuhan. Dan menyeret masyarakatnya  jauh dari kemuliaan. Wallahu’alam Bishowab.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Abul. 2001. As-Sirah An Nabawiyyah. Damaskus: Darul Qalam.

Payne, Malcolm.1997. Modern Social Work Theory. Second edition.London:Macmillan
            Press Ltd.

T.Walter Wallbank dan Alastair M. Taylor: Civilization, Past and Present,1954, hlm.          261-262.

Zulkarnain S., Abdi. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Islam Melalui Pemberdayaan        Ekonomi Ummat.Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.Volume 1,      Nomor 2, Juni 2005, hlm. 185.

Kamis, 05 September 2013

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTF ISLAM (bag.2)


Islam (The Way of Life)

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu (Islam) dan Aku telah melimpahkan nikmat-Ku padamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Q.S. Al-Maidah:3).

            Sebagai agama yang telah disempurnakan dan diridhoi oleh Allah, sudah barang tentu harusnya islam menjadi minhajul hayat (pedoman hidup) bagi penganut-penganutnya dalam kerangka memperoleh janji Allah yaitu keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian hidup di dunia maupun di akhirat.

“Allah Pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah:257).

            Sudah menjadi sebuah ketetapan Allah bahwasanya islam diturunkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam dengan menuntun seluruh ummat manusia kepada terangnya cahaya (iman), dan bukan kepada kegelapan (kejahiliyahan). Hal tersebut dapat dilihat dari tinjauan etimologis (asal-usul kata, lughawi) dan karakteristiknya.

            Kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana Firman Allah SWT, “Bahkan, barangsiapa (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. 2:112). Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.
            Setidaknya ada empat aspek yang berkaitan satu sama lain dari akar kata yang membentuk kata “islam”, yaitu:
1.      Aslama artinya menyerahkan diri. Berarti orang yang masuk Islam harus menyerahkan diri kepada Allah SWT, yaitu ia siap mematuhi ajaran-Nya.
2.      Salima artinya selamat. Orang yang memeluk Islam, hidupnya akan selamat.
3.      Sallama artinya menyelamatkan orang lain. Seorang pemeluk Islam tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga harus menyelamatkan orang lain.
4.      Salam. Aman, damai, sentosa. Kehidupan yang damai sentosa akan tercipta jika pemeluk Islam melaksanakan aslama dan sallama.

            Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Khasaais Al-Ammah Lil Islam menyebutkan bahwa karakteristik ajaran Islam itu terdiri dari tujuh hal penting yang tidak terdapat dalam agama lain dan ini pula yg menjadi salah satu sebab mengapa hingga sekarang ini begitu banyak orang yg tertarik kepada Islam sehingga mereka menyatakan diri masuk ke dalam Islam. Ini pula yang menjadi sebab mengapa hanya Islam satu-satunya agama yang tidak “takut” dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuh kerakteristik itu adalah:
1.      Robbaniyyah. Artinya Islam merupakan agama yang bersumber dari Allah SWT bukan dari manusia, karena itu ajaran Islam sangat terjamin kemurniannya sebagaimana Allah telah menjamin kemurnian Al-Qur’an Allah berfirman dalam Surah Al-Hijr 9 yg artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Konsekuensinya adalah setiap muslim harus mengabdi hanya kepada Allah sehingga menjadi seorang yang Rabbani, yang artinya memiliki sikap dan nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.

2.      Insaniyyah. Artinya Islam merupakan agama yang diturunkan untuk manusia karena itu Islam merupakan satu-satunya agama yang cocok dengan fitrah manusia. Pada dasarnya tidak ada satupun ajaran Islam yang bertentangan dengan jiwa manusia.

3.      Syumuliyah. Islam merupakan agama yang lengkap tidak hanya mengutamakan satu aspek lalu mengabaikan aspek lainnya. Kelengkapan ajaran Islam itu nampak dari konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari urusan pribadi, keluarga, masyarakat sampai pada persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara.

4.      Al Waqi’iyyah. Karakteristik lain dari ajaran Islam adalah Al Waqi’iyyah ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang dapat diamalkan oleh manusia atau dengan kata lain dapat direalisir dalam kehidupan sehari-hari. Islam dapat diamalkan oleh manusia meskipun mereka berbeda latar belakang kaya miskin pria wanita dewasa remaja anak-anak berpendidikan tinggi berpendidikan rendah bangsawan rakyat biasa berbeda suku adat istiadat dan sebagainya.

5.      Al Wasathiyah. Di dunia ini ada agama yg hanya menekankan pada persoalan-persoalan tertentu ada yg lebih mengutamakan masalah materi ketimbang rohani atau sebaliknya. Ada pula yg lebih menekankan aspek logika daripada perasaan dan begitulah seterusnya. Allah SWT menyebutkan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan umat yang seimbang dalam beramal baik yang menyangkut pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani dan akal pikiran maupun kebutuhan rohani. Manusia memang membutuhkan konsep agama yang seimbang hal ini karena tawazun merupakan sunnatullah. Di alam semesta ini terdapat siang dan malam gelap dan terang hujan dan panas dan begitulah seterusnya sehingga terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Dalam soal aqidah misalnya banyak agama yang menghendaki keberadaan Tuhan secara konkrit sehingga penganutnya membuat simbol-simbol dalam bentuk patung. Ada juga agama yg menganggap tuhan sebagai sesuatu yang abstrak sehingga masalah ketuhanan merupakan kihayalan belaka bahkan cenderung ada yang tidak percaya akan adanya tuhan sebagaimana komunisme. Islam mempunyai konsep bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang ada namun adanya tidak bisa dilihat dengan mata kepala kita keberadaannya bisa dibuktikan dengan adanya alam semesta ini yang konkrit maka ini merupakan konsep ketuhanan yang seimbang. Begitu pula dalam masalah lainnya seperti peribadatan akhlak, hukum dan sebagainya.

6.      Al Wudhuh. Karakteristik penting lainnya dari ajaran Islam adalah konsepnya yang jelas. Kejelasan konsep Islam membuat umatnya tidak bingung dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam bahkan pertanyaan umat manusia tentang Islam dapat dijawab dengan jelas apalagi kalau pertanyaan tersebut mengarah pada maksud merusak ajaran Islam itu sendiri.


7.       Al Jam’u Baina Ats Tsabat wa Al Murunnah. Di dalam Islam tergabung juga ajaran yang permanen dengan yang fleksibel . Yang dimaksud dengan yang permanen adalah hal-hal yg tidak bisa diganggu gugat, misalnya shalat lima waktu yang mesti dikerjakan tapi dalam melaksanakannya ada ketentuan yang bisa fleksibel misalnya bila seorang muslim sakit dia bisa shalat dengan duduk atau berbaring kalau dalam perjalanan jauh bisa dijama’ dan diqashar dan bila tidak ada air atau dengan sebab-sebab tertentu berwudhu bisa diganti dengan tayamum.

Rabu, 04 September 2013

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM (bag.1)

Definisi dan Latar Belakang

           
            Pemberdayaan dapat disamakan dengan pengembangan (empowerment) atau pembangunan (development), (Abdi, 2005). Secara definisi Payne menyatakan bahwa Empowerment is to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self-confidence to use power and by transferring power from the environtment to clients. Berdasarkan definisi tersebut terdapat aspek-aspek penting dalam pemberdayaan, yang meliputi peningkatan kapasitas personal, dan rasa percaya diri dalam upaya pengambilan keputusan serta tindakan yang terkait dengan kehidupan manusia secara personal dan komunal. Dari penjelasan diatas pemberdayaan masyarakat merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia (People centered deveopment), yang mana strategi ini menekankan pada pentingnya peningkatan kapasitas manusia (secara personal maupun komunal) untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal.

            Teori pemberdayaan ini muncul pada tahun 1990-an setelah kegagalan teori-teori pembangunan seperti Growth Approach (pendekatan pertumbuhan) dan teori Rostow yang menekankan pada strategi industrialisasi, substitusi impor dengan investasi dan padat modal untuk mendongkrak potensi yang ada pada masyarakat, (Abdi, 2005). Dalam teorinya Rostow menyatakan bahwa akan muncul limpahan rezeki kebawah (Trickle Down Effect) ketika strategi industrialisasi, substitusi impor dengan investasi tinggi, dan padat modal digunakan untuk mendongkrak potensi yang ada pada masyarakat. Alih-alih munculnya limpahan rezeki ke bawah, teori ini berujung pada meningkatnya pengangguran pada angkatan kerja yang diikuti dengan peningkatan kejahatan akibat urbanisasi tenaga kerja tidak terampil, Pendekatan ini juga memunculkan Pseudo Capitalis (kapitalis semu), yaitu orang-orang yang menjadi kapitalis karena kedekatan dengan kelompok penguasa (elit politik) dimana mereka mendapatkan kemudahan dari regulasi-regulasi yang ada.

            Selain itu terdapat beberapa teori lain yang bertujuan untuk memberdayakan  masyarakat di negara-negara dunia ketiga (miskin), tetapi dalam aplikasinya dinilai tidak berhasil untuk mewujudkan tujuannya. Beberapa teori lain tersebut adalah, Pertama adalah teori Resdistribution of Growt Approach (pendekatan pertumbuhan dan pemerataan), pendekatan ini diterapkan pada tahun 1973 oleh Adelman dan Morris dengan menerbitkan Ecomomic Growth and Social Equity in Developing Countries. Menggambarkan indikator-indikator pembanguanan dalam tiga indikator, yaitu indikator sosial-budaya ( tiga belas indikator), indikator politik ( tujuh belas indikator) dan indikator ekonomi (delapan belas indikator). Secara  teoritis pendekatan ini mudah dipahami, tetapi dalam penerapannya hal ini sangat sulit, karena masalah kemiskinan dalam perwujudan yang nyata bukanlah sekedarmasalah mendistribusikan barang ataupun jasa kepada kelompok masyarakat tertentu.

            Kedua adalah Dependence Paradigma (paradigma ketergantungan), teori ini dimunculkan pada tahun 1970-an oleh Cardoso. Menurutnya untuk menggerakkan industri-industri dibutuhkan komponen-komponen dari luar negeri dan hal ini menimbulkan ketergantungan dari segi teknologi dan kapital. Dan distribusi pendapatan di dunia ketiga menimbulkan pembatasan akan permintaan terhadap barang hasil industri yang hanya mampu dinikmati sekelompok kecil kaum elite dan setelah permintaan terpenuhi maka proses pertumbuhan terhenti.

            Ketiga, adalah The Basic Needs Approach (pendekatan kebutuhan pokok), teori ini diperkenalkan oleh Baricloche Foundation di Argentina. Menurut kelompok ini, kebutuhan pokok tidak mungkin dapat dipenuhi jika mereka masih berada dibawah garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan yang lebih baik. Oleh karena itu ada tiga sasaran yang dikembangkan secara bersamaan yaitu : (a) membuka lapangan kerja, (b) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (c) memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Keempat, The Self-Reliance Approach (pendekatan kemandirian), pendekatan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari berbagai upaya negara dunia ketiga untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara-negara industri.   

Pengikut

Jumlah Pengunjung

free counters