Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif
Islam
Di tengah-tengah pengarus utamaan
faham materialisme dan hedonisme yang terjadi saat ini, pemberdayaan masyarakat
semata-mata ditujukan kepada pencapaian-pencapaian target yang bersifat
materialis (kasat mata), seperti halnya kekayaan, penguasaan teknologi tinggi, sarana-prasarana
umum yang berkualitas, dll. Sebagai agama yang memiliki karakteristik Wasathiyah
(Seimbang), maka pemberdayaan tidak hanya terfokus pada target-target
pencapaian secara meterial belaka, tetapi juga mencakup targetan-targetan
immaterial (tak kasat mata) seperti halnya ketauhidan (Akidah), Ibadah, dan
Akhlaq (kepribadian). Ketiga aspek immaterial tersebut yang utama dan pertama
harus dibangun sejalan dengan pencapaian targetan-targetan yang sifatnya
material.
Sedikit berkaca pada sejarah awal
turun dan berkembangnya islam di jazirah arab yang saat itu identik dengan masa
kejahiliyahan. Islam hadir sebagai sebagai sebuah ajaran yang membawa pada
perbaikan yang sifatya menyeluruh dan fundamental, hingga akhirnya terbentuk
sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera yang dikenal sebagai tatanan
masyarakat madani (civil society). Sebuah
tatanan masyarakat yang mustahil bisa terwujud tanpa adanya landasan konsep
yang jelas, menyeluruh, seimbang dengan penguatan pada tata aturan yang kokoh
sekaligus fleksibel, mudah diamalkan, dan memanusiakan manusia.
Pada era kejahiliyahan yang saat itu
berkembang dan berurat berakar, pada hakikatnya kejahiliyahan tidak bisa
disebut dengan kebodohan yang identik dengan keterbelakangan, kemiskinan, dan
kebiadaban. Seperti halnya saat ini, kejahiliyahan masa lalu sebenarnya identik
pada tidak “mengerti” dan tidak “pahamnya” manusia kepada kemurnian akidah,
sehingga yang ada adalah sebagian besar (baca: pada umumnya) orang bertuhan
pada hawa nafsunya yang semakin lama menuntunnya pada kehinaan. Setiap orang
saat itu berlomba-lomba untuk mengejar harta, kedudukan, kepuasan birahinya,
kecerdasan, dan kebudayaan yang pada akhirnya secara perlahan tapi pasti
menyeret bangsa/masyarakat itu kepada kejumudan dan kehancuran.
Keadaan bangsa arab jahiliyah saat
itu digambarkan begitu gamblang dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan
‘Ali al-Hasani an Nadwi. “Moral bangsa
Arab pada masa jahiliyah sangatlah buruk. Mereka dijejali oleh khamr (minuman
keras) dan perjudian.Mereka telah sampai pada tingkat kekejaman dan kebiadaban
yang tinggi, seperti mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, penipuan yang sudah
menjadi kebiasaan, dan perampokan terhadap kafilah-kafilah pedagang. Derajat
wanita telah jatuh. Wanita dapat diwariskan kepada keturunan sebagaimana halnya
barang perhiasan dan barang tunggangan. Di masyarakat jahiliyah bangsa Arab,
terdapat makanan-makanan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, dan diharamkan
bagi wanita. Laki-laki dapat beristri tanpa batasan jumlah.
Dalam kitab yang sama, juga digambarkan terkait kondisi-kondisi
bangsa-bangsa lain yang saat itu berkuasa, dengan kondisi yang tidak jauh
buruknya dengan kondisi arab jahiliyah. Seperti halnya Imperium Rumawi Timur,
dalam kitab tersebut digambarkan bahwa”Kekuasaan
Rumawi Timur mengalami kekacauan yang semakin besar, pajak-pajak semakin berlipat
ganda, sehingga penduduk negeri mengutamakan pemerintahan asing daripada
pemerintahan mereka sendiri. Terjadilah bencana demi bencana, pemberontakan
demi pemberontakan. Pada tahun 532 M, pada masa pemerintahan Justin I terjadi
kekacauan yang menewaskan 30.000 jiwa di Konstantin yang merupakan ibukota
negeri. Motivasi kehidupan satu-satunya disana adalah mencari harta dengan
segala cara, kemudian membelanjakannya di dalam kemewahan. Mereka sangat
memperhatikan hiburan, hingga pada batas kebiadaban.
Dalam buku Civilization, Past,
dan Present (Peradaban ; Dulu dan Sekarang) terdapat gambaran pertentangan
dan kerusuhan yang menimpa masyarakat. Demikian pula tentang animo terhadap
hiburan dan kenikmatan, bahkan sampai pada batas kekerasan dan kebiadaban. Kedua
penulis buku tersebut menyatakan:
“Terjadi pertentangan yang
mengerikan dalam kehidupan sosial rakyat Bizantium. Kecenderungan keagamaan
telah berakar kuat di dalam pemikiran mereka. Kerahiban telah merata di seluruh
negeri, warga biasa telah mencampuri bahasan-bahasan keagamaan yang mendalam,
sibuk dalam perdebatan-perdebatan di Bizantium.”
“Sekalipun kehidupan wajar telah
diupayakan berwatak seperti aliran kebatinan (mengutamakan kesederhanaan hidup
sampai mengabaikan kebutuhan hidup manusia yang wajar, edt.)di satu pihak, akan
tetapi kami melihat di pihak yang lain; mereka sangat berambisi terhadap segala
bentuk hiburan dan permainan serta kegembiraan dan kemewahan. Di sana terdapat lapangan
olah raga yang luas, dengan tempat duduk yang dapat menampung 80.000 orang. Di
lapangan-lapangan tersebut, orang-orang menyaksikan perkelahian-perkelahian
antara warga laki-laki dengan laki-laki pada waktu tertentu, atau antara
laki-laki dengan binatang buas pada waktu yang lain.”
"Mereka membagi kelompok menjadi dua
warna: warna biru dan warna hijau. Mereka sangat menyukai keindahan, juga
mencintai kekejaman dan kebiadaban. Permainan-permainan meraka bersimbah darah
pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan hukuman-hukuman yang mereka jalankan
sangat mengerikan, hingga mengelupas kulit manusia. Kehidupan para pemimpin dan
pembesar di Imperium Bizantium adalah simbol gelak tawa dan kemewahan,
berkomplot dalam segala hal dan memakai perhiasan yang melimpah, serta
kejelekan-kejelekan dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan jahat.”
Keadaan-keadaan yang telah
dijelaskan diatas tidak jauh beda dan tengah dialami secara perlahan-lahan oleh
segenap bangsa di muka bumi pada saat ini. Pertanyaannya adalah Bisakah
permasalahan kejahiliyahan (Baca: Krisis multi dimensional) yang tengah dialami
oleh sebagaian besar umat manusia di muka bumi ini diselesaikan dengan
pendekatan konsep pemberdayaan masyarakat yang konvensional, yang memisahkan
membatasi tujuan pemberdayaan hanya pada aspek material semata?
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, sehingga
kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui”.(Q.S.Al-Anfal:53)
Sebagai sebuah ajaran yang bersifat Rabbaniyyah yang tidak akan lekang oleh zaman, dan senantiasa
menjadi solusi atas segala bentuk tantangan zaman, Islam menawarkan konsep
pembangunan masyarakat yang bermula pada pembangunan jiwa/karakter
pribadi-pribadi manusia yang dalam teori pembangunan/pemberdayaan masyarakat
dikenal sebagai pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (People Centered Development). Akan
tetapi yang menjadi pembeda dari konsepsi pendekatan People Centered Development konvensional dengan ajaran islam adalah
pada komposisi dan muatan-muatan pemahaman yang diinternalisasikan pada
diri/individu manusia. Dalam ajaran islam, muatan-muatan yang
diinternalisasikan tersebut meliputi aspek Akidah, Ibadah, dan Akhlak dalam
komposisi yang seimbang.
Internalisasi muatan-muatan yang
dilakukan secara berkesinambungan, seiring dengan proses tumbuh-kembang
individu itulah yang memunculkan keyakinan/
Core Believe (Baca:keimanan) dalam diri masing-masing individu dan mendasari
skema lahirnya kekuatan perubahan (The
Power of Change). Core Believe
ibarat ruh penggerak yang kuat bagi tiap-tiap individu untuk melakukan partisipasi
nyata dengan kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawabnya masing-masing dalam
melakukan perubahan sosial (transformasi sosial) yang menyeluruh dan mendasar.
Analog dengan pembangunan
rumah/gedung. Besar, dan tingginya sebuah bangunan haruslah proporsional dengan
fondasi yang mendasarinya. Artinya, dalam mencapai tujuan pembangunan
masyarakat yang lebih tinggi dan berkesinambungan, dengan tantangan zaman yang
lebih kompleks, maka kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat juga harus
ditingkatkan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa proses penguatan core believe haruslah berjalan terus
menerus, seiring dengan pengkapasitasan (capacity
building) spesifikasi keilmuan dan keterampilan pada masing-masing individu.
Karena ketidak pedulian terhadap proses penguatan core believe, menjadikan bangunan kesejahteraan masyarakat rentan
mengalami keruntuhan. Dan menyeret masyarakatnya jauh dari kemuliaan. Wallahu’alam Bishowab.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Abul.
2001. As-Sirah An Nabawiyyah.
Damaskus: Darul Qalam.
Payne, Malcolm.1997. Modern Social Work Theory. Second
edition.London:Macmillan
Press Ltd.
T.Walter
Wallbank dan Alastair M. Taylor: Civilization, Past and Present,1954, hlm. 261-262.
Zulkarnain S., Abdi. 2005. Pemberdayaan
Masyarakat Islam Melalui Pemberdayaan Ekonomi
Ummat.Komunitas, Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam.Volume
1, Nomor 2, Juni 2005, hlm. 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar